Asrama | Bahasa Sunda | Beasiswa | Bandung | ITB | KATY 99 | Otonomi | Passing grade |
Teladan | TPB | Universitas lain | Ke menu utama
![]() |
Press Release KATY tentang Masalah Otonomi Kampus ITB |
|
||||||
|
Bandung, 09 April
2000
KATY Bandung, dalam hal ini adalah KATY ITB, telah mengetahui kondisi yang berkembang di elemen kampus, mulai dari rektorat, biro-biro, dan tentu saja mahasiswa, terutama mengenai otonomi kampus. Untuk itu KATY (dalam hal ini AFIT) telah menimbang, mengingat dan memutuskan:
|
|||||||
disusun oleh komunitas K-SEP ITB (Kelompok Studi Sejarah Ekonomi Politik)
Krisis ekonomi 1997 merupakan awal perubahan besar yang terjadi di indonesia. Dengan adanya krisis ekonomi, para pemodal asing mempunyai kesempatan besar untuk masuk dan menguasai pasar Indonesia. Kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di seluruh daerah pada awal krisis juga mempercepat berkuasanya kaum kapitalis nasional.
Krisis yang semakin parah sungguh membuat pemerintah kesulitan. Pemerintah tidak punya uang untuk perbaikan sistem yang sudah terlanjur busuk. Belum lagi larinya modal ke luar negeri akibat situasi nasional yang tidak menentu dan keamanan yang tidak terjamin. Dalam kondisi itu, pemerintah tidak mau menerima 'bantuan' (baca pemerasan secara halus) dari lembaga-lembaga donor, seperti : IMF, Bank Dunia, Bank Pemangunan Asia, dan dengan mudahnya menentukan syarat-syarat keinginannya tanpa memperhatikan kondisi masyarakat kita. Lembaga-lembaga ini tak lain adalah kepanjangan tangan kapitalis asing yang memiliki kepentingan untuk menguasai pasar indonesia setelah hancur leburnya pemilik modal nasional dalam krisis.
Sebelum krisis, suharto dan militer beserta kroni-kroninyalah yang menguasai perputaran uang di Indonesia. Pihak asing yang ingin berinvestasi harus memberikan upeti. Hal ini tentu saja mengurangi keuntungan dan lebih jauh lagi merupakan halangan bagi mereka untuk menguasai pasaran Indonesia. Dalam kerangka ini dapat dipahami bahwa kapitalis asing sangat mendukung gerakan menumbangkan suharto atau gerakan untuk mengurangi peran militer (mereka tidak pernah mendukung pencabutan dwi fungsi karena masih membutuhkan peran militer untuk menjaga modal mereka. Maka, sesungguhnya dalam pemilu Juni 1999 kemarin pemenangnya tidak lain tidak bukan adalah lembaga IMF. Krisis yang melanda Indonesia dilihat sebagai peluang untuk memasarkan kepentingan mereka berinvestasi dengan iklim yang lebih menguntugkan melalui lembaga-lembaga donor yang memiliki posisi tawar lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Kepentingan pemodal asing dalam Letter of Intens (LoI) terlihat jelas dengan point-point yang ditandatangani bersama oleh Indonesia dan IMF antara lain :
privatisasi BUMN
penghapusan pajak/.bea masuk impor
penghapusan proteksi produk dalam negeri
penghapusan (pengurangan) subsidi
penghapusan KKN
menjamin keamanan dan ketertiban negara
Privatisasi BUMN telah membuka peluang untuk masuknya modal asing. Rakyat yang sudah kesulitan membiayai kehidupannya akan semakin sulit karena dengan dicabutnya subsidi maka harga air, liistrik, BBM akan naik. Padahal inilah urat nadi kehidupan rakyat. Belum lagi ribuan petani hasil bumi yang harus bersaing dengan produk impor bebas bea masuk yang lebih murah daripada hasil petani. Contoh konkret yang sudah dirasakan sekarang adalah hancurnya industri gula Indonesia yang tidak mampu bersaing denan gula impor. Tetapi rezim yang dengan indahnya telah mengilusikan bahwa dengan cara itulah (bantuan IMF beserta syarat-syaratnya) maka roda ekonomi akan kembali berjalan. Namun, apakah itu untuk rakyat ? Sekali lagi tidak.
Lalu apakah hubungan Letter of Intent ini dengan dunia pendidikan pada umumnya ? IMF tidak hanya datang untuk menguasai pasar riil, tetapi juga sektor pendukungnya. Dalam industri kita tidak lebih diposisikan sebagai calon penggerak mesin-mesin industri. Logika yang mudah diterima adalah pemilik modal ingin memasikan bahwa calon-calon penggerak mesin ini berguna untuk mereka (dalam arti memiliki kemampuan yang sesuai dengan industri mereka). Tapi apabila sistem PT-nya masih seperti dulu yaitu akses ke perguruan tinggi harus melalui pemerintah hal ini tidak dapat memenuhi kepentingan mereka. Maka melalui IMF pengurangan subsidi untauk sektor pendidikan merupakan momentum yang tepat untuk melaksanakan privatisasi (otonomi menurut versi rejim) perguruan tinggi.
Masyarakat industri memiliki akses langsung ke perguruan tinggi melalui badan MWA yang dibentuk PT. Bisa dibayangkan apabila pemenang tender 'bantuan' ke suatu jurusan adalah perusahaan A, maka kualitas (dipresentasikan melalui kurikulum) yang dinginkan pun akan disesuaikan dengan teknologi di perusahaan A. Hal logis yang akan diakibatkan adalah lulusan yang dihasilkan oleh jurusan tersebut hanya menguasai teknologi daari perusahaan A saja, dengan kata lain dia hanya dapat bekerja di perusahaan A saja. Dengan kondisi ini, bisakah kita mempunyai posisi tawar yang tinggi, dalam hal gaji misalnya ?
So, apakah otonomi akan memperbaiki nasib kita ?
disarikan dari buletin rencana otonomi ITB terbitan Institut Teknologi Bandung
Latar belakang
Penerbitan PP no. 61 tahun 1999 tentang penetapan perguruan tinggi negeri sebagai Badan Hukum bukanlah dimaksudkan untuk mengurangi tekanan terhadap anggaran pemerintah, walaupun memang benar terjadinya berbagai krisis di Indonesoa telah mendorong pemerintah menerbitkan PP tersebut.
Proses globalisasi yang tidak dapat ditawarkan lagi menuntut dihormatinya norma dan nilai yang secara universal
Asrama | Bahasa Sunda | Beasiswa | Bandung | ITB | KATY 99 | Otonomi | Passing grade |
Teladan | TPB | Universitas lain | Ke menu utama